BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Berkembangnya suatu negara berasal dari
pemerintahannya serta rakyatnya. Dua
elemen tersebut adalah hal yang paling menentukan untuk perkembangan bangsa.
Dalam bidang bisnis pun, pelaku bisnis atau si pemilik bisnis dan para
karyawannya adalah dua elemen penting untuk menentukan kemajuan bisnis
tersebut. Bila salah satu dari mereka tidak dapat bekerjasama dengan baik secara
jujur, dan malah hanya menguntungkan diri sendiri, maka perkembangan pun tidak
akan ada.
Saat ini, banyak sekali manusia yang dengan sadar
ataupun tidak, mengambil keuntungan dengan cara yang tidak baik. Korupsi,
itulah kata-kata yang marak disebutkan. Para koruptor tersebut seolah
mengenyampingkan moral mereka entah sebagai pejabat public ataupun pelaku
bisnis. Mereka seolah lupa akan perbuatan mereka yang sangat merugikan orang
lain dan bahkan masyarakat banyak.
Korupsi merupakan permasalahan
serius yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Pada hakekatnya, korupsi adalah
“benalu sosial” yang merusak struktur pemerintahan, dan menjadi penghambat
utama terhadap jalannya pemerintahan dan pembangunan pada umumnya.
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang
bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Secara harfiah,
korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai
negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dipercayakan kepada mereka.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya korupsi diantaranya kekacauan
administrsi keuangan pemerintahan, system hukum yang yang kurang baik,
dan tentunya moralitas dari setiap individu.
Permasalahan korupsi
yang melanda negeri ini bagaikan sebuah penyakit yang tidak akan pernah sembuh.
Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh media seolah-olah
merepresentasikan jati diri bangsa yang dapat dilihat dari budaya korupsi yang
telah menjadi hal yang biasa bagi semua kalangan, mulai dari bawah hingga kaum
elite. Tindak pidana korupsi di Indonesia hingga saat ini masih menjadi salah
satu penyebab terpuruknya sistem perekonomian bangsa. Hal ini disebabkan karena
korupsi di Indonesia terjadi secara sistemik dan meluas sehingga bukan saja
merugikan kondisi keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas. Atas dasar tersebut penulis akan membahas
mengenai korupsi di Indonesia terutama yang berkaitan dengan moralitas
koruptor.
Rumusan
Masalah
Rumusan masalah pada penulisan ini adalah :
1.
Mengapa korupsi bisa terjadi dan sulit diberantas ?
2.
Bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis ?
3.
Siapa yang harus bertanggungjawab ?
Batasan
masalah
Batasan
masalah penulisan ini adalah hanya terbatas mengenai moralitas koruptor.
Tujuan
Penulisan
Tujuan
penulisan ini yaitu untuk mengetahui membahas mengapa korupsi bisa terjadi,
bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis, dan siapa yang harus
bertanggungjawab.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
Pengertian
Moralitas
Moral
berasal dari bahasa Latin "mos" (jamak: mores) yang
berarti kebiasaan, adat. Kata "mos" (mores) dalam
bahasa Latin sama artinya dengan etos dalam bahasa Yunani. Di dalam
bahasa Indonesia, kata moral diterjemahkan dengan arti susila.
Berikut ini beberapa
Pengertian Moral Menurut para Ahli:
A. Pengertian Moral Menurut
Chaplin (2006): Moral mengacu pada
akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat
kebiasaan yang mengatur tingkah laku.
B. Pengertian Moral Menurut Hurlock (1990): moral adalah tata cara, kebiasaan, dan adat peraturan
perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya.
C. Pengertian Moral Menurut Wantah (2005): Moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada
hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah
laku.
dapat
disimpulkan bahwa Moral adalah suatu keyakinan tentang benar salah, baik dan
buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial, yang mendasari tindakan atau
pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar salah, baik buruk,
keyakinan, diri sendiri, dan lingkungan sosial.
Pengertian Korupsi
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, korupsi adalah penyelewengan atau penggelapan
uang negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun orang
lain.
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau
pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda,
dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk
memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan,
dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada
sama sekali.
Apabila
dilihat dari asal-usul istilahnya, korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio
yang berarti kerusakan, pembusukan, kemerosotan, dan penyuapan. Ada beberapa
istilah yang mempunyai arti yang sama dengan korupsi, yaitu corrupt (Kitab
Negarakrtagama) artinya rusak, gin moung (Muangthai) artinya makan bangsa,
tanwu (China) berarti keserakahan bernoda, oshoku (Jepang) yang berarti kerja
kotor. Berdasarkan makna harfiah, korupsi adalah keburukan, kejahatan,
ketidakjujuran, penyimpangan dari kesucian, kata-kata yang bernuansa menghina
atau memfitnah, penyuapan. Dalam bahasa Indonesia korupsi adalah perbuatan
buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.
Ada beberapa unsur korupsi, yaitu:
1. adanya
pelaku Korupsi terjadi karena adanya pelaku atau pelaku-pelaku yang memenuhi
unsur-unsur tindakan korupsi.
2. adanya
tindakan yang melanggar norma-norma Tindakan yang melanggar norma-norma itu
dapat berupa norma agama, etika, maupun hukum.
3. adanya tindakan yang
merugikan negara atau masyarakat secara langsung maupun tidak langsung Tindakan
yang merugikan negara atau masyarakat dapat berupa penggunaan dan
penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang maupun penggunaan kesempatan yang ada,
sehingga merugikan keuangan negara, fasilitas maupun pengaruh dari negara.
4. adanya
tujuan untuk keuntungan pribadi atau golongan Hal ini berarti mengabaikan rasa
kasih sayang dan tolong-menolong dalam bermasyarakat demi kepentingan pribadi
atau golongan. Keuntungan pribadi atau golongan dapat berupa uang, harta
kekayaan, fasilitas-fasilitas negara atau masyarakat dan dapat pula mendapatkan
pengaruh.
Menurut UU. No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan
sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas tindakan-tindakan itu bisa
dikelompokkan menjadi:
1. Kerugian keuntungan Negara
2. Suap-menyuap (istilah
lain : sogokan atau pelicin)
3. Penggelapan dalam jabatan
4. Pemerasan
5. Perbuatan curang
6. Benturan kepentingan dalam pengadaan
7. Gratifikasi (istilah lain : pemberian hadiah).
Selanjutnya Alatas dkk (Kumorotomo, 1992 : 192-193),
mengemukakan ada tujuh jenis korupsi, yaitu :
1.
Korupsi transaktif (transactive corruption)
Jenis korupsi ini disebabkan oleh adanya kesepakatan
timbal balik antara pihak pemberi dan pihak penerima demi keuntungan kedua
belah pihak dan secara aktif mereka mengusahakan keuntungan tersebut.
2.
Korupsi yang memeras (extortive corruption)
Pemerasan adalah korupsi di mana pihak pemberi dipaksa
menyerahkan uang suap untuk mencegah kerugian yang sedang mengancam dirinya, kepentingannya
atau sesuatu yang berharga baginya.
3.
Korupsi defensif (defensive corruption)
Orang yang bertindak menyeleweng karena jika tidak
dilakukannya, urusan akan terhambat atau terhenti (perilaku korban korupsi
dengan pemerasan, jadi korupsinya dalam rangka mempertahankan diri).
4.
Korupsi investif (investive corruption)
Pemberian barang atau jasa tanpa memperoleh keuntungan
tertentu, selain keuntungan yang masih dalam angan-angan atau yang dibayangkan
akan diperoleh di masa mendatang.
5.
Korupsi perkerabatan atau nepotisme (nepotistic
corruption)
Jenis korupsi ini meliputi penunjukan secara tidak sah
terhadap Sanak-Saudara atau teman dekat untuk menduduki jabatan dalam
pemerintahan. Imbalan yang bertentangan dengan norma dan peraturan itu mungkin
dapat berupa uang, fasilitas khusus dan sebagainya.
6.
Korupsi otogenik (autogenic corruption)
Bentuk
korupsi yang tidak melibatkan orang lain dan pelakunya hanya satu orang saja.
7.
Korupsi dukungan (supportive corruption)
Korupsi yang dilakukan untuk melindungi atau
memperkuat korupsi yang sudah ada
maupun yang akan dilaksanakan.
BAB
III
METODOLOGI PENELITIAN
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk
memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode
pengumpulan data berupa studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan data dari
beberapa buku, referensi di internet dan jurnal yang mengkaji topik sejenis
untuk mendukung penulisan keadilan dalam bisnis.
BAB IV
PEMBAHASAN
Faktor - faktor penyebab korupsi
Mengutip teori yang dikemukakan
oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory, bahwa faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
a.
Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara
potensial ada di dalam diri setiap orang.
b.
Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau
instansi atau masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi
seseorang untuk melakukan kecurangan.
c.
Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor
yamg dibutuhkan oleh individu-individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
d.
Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi
yang dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan
kecurangan.
Faktor-faktor Greeds dan
Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) korupsi, yaitu individu atau
kelompok baik dalam organisasi maupun di luar organisasi yang melakukan korupsi
yang merugikan pihak korban. Sedangkan faktor-faktor Opportunities dan
Exposures berkaitan dengan korban perbuatan korupsi (victim) yaitu organisasi,
instansi, masyarakat yang kepentingannya dirugikan.
Sebab- Sebab Korupsi
lainnya:
1. Klasik
a. Ketiadaan
dan kelemahan pemimpin. Ketidakmampuan pemimpin untuk menjalankan tugas dan
tanggung jawabnya, merupakan peluang bawahan melakukan korupsi. Pemimpin yang
bodoh tidak mungkin mampu melakukan kontrol manajemen lembaganya.kelemahan
pemimpin ini juga termasuk ke leader shipan, artinya, seorang pemimpin yang
tidak memiliki karisma, akan mudah dipermainkan anak buahnya. Leadership
dibutuhkan untuk menumbuhkan rasa takut,ewuh poakewuhdi kalangan staf untuk
melakukan penyimpangan.
b. Kelemahan
pengajaran dan etika. Hal ini terkait dengan system pendidikan dan substansi
pengajaran yang diberikan. Pola pengajaran etika dan moral lebih ditekankan
pada pemahaman teoritis, tanpa disertai dengan bentuk-bentuk
pengimplementasiannya.
c. Kolonialisme
dan penjajahan. Penjajah telah menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang
tergantung, lebih memilih pasrah daripadaberusaha dan senantiasa menempatkan
diri sebagai bawahan.Sementara, dalam pengembangan usaha, mereka lebih
cenderung berlindung di balik kekuasaan (penjajah) dengan melakukan kolusidan nepotisme.
Sifat dan kepribadian inilah yang menyebabkan munculnya kecenderungan sebagian
orang melakukan korupsi.
d. Rendahnya
pendidikan. Masalah ini sering pula sebagai penyebab timbulnya korupsi.
Minimnya ketrampilan, skill, dan kemampuan membuka peluang usaha adalah wujud
rendahnya pendidikan. Dengan berbagai keterbatasan itulah mereka berupaya
mencsri peluang dengan menggunakan kedudukannya untuk memperoleh keuntungan
yangbesar. Yang dimaksud rendahnya pendidikan di sini adalah komitmen terhadap
pendidikan yang dimiliki. Karena pada kenyataannya koruptor
rata-rata memiliki tingkat pendidikan yang memadai,kemampuan, dan skill.
e. Kemiskinan.
Keinginan yang berlebihan tanpa disertai instropeksi diriatas kemampuan dan
modal yang dimiliki mengantarkan seseorang cenderung melakukan apa saja yang
dapat mengangkat derajatnya.Atas keinginannya yang berlebihan ini, orang akan
menggunakan kesempatan untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
f. Tidak
adanya hukuman yang keras, seperti hukuman mati, seumur hidup atau di buang ke
Pulau Nusa kambangan. Hukuman seperti itulah yang diperlukan untuk menuntaskan
tindak korupsi.
2. Modern
1. Rendahnya
Sumber Daya Manusia.Penyebab korupsi yang tergolong modern itu sebagai akibat
rendahnya sumber daya manusia. Kelemahan SDM ada empat komponen, sebagai
berikut:
a) Bagian kepala, yakni menyangkut kemampuan seseorang
menguasai permasalahan yang berkaitan dengan sains dan knowledge.
b) Bagian hati, menyangkut komitmen moral masing-masing
komponen bangsa, baik dirinya maupun untuk kepentingan bangsa dan negara,
kepentingan dunia usaha, dan kepentingan seluruh umat manusia.komitmen
mengandung tanggung jawab untuk melakukan sesuatu hanya yang terbaik dan
menguntungkan semua pihak.
c) Aspek skill atau keterampilan, yakni kemampuan
seseorang dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
d) Fisik atau kesehatan. Ini menyangkut kemanpuan seseorang
mengemban tanggung jawab yang diberikan. Betapa pun memiliki kemampuan dan
komitmen tinggi, tetapi bila tidak ditunjang dengan kesehatan yang prima,
tidak mungkin standar dalam mencapai tujuann
2. Struktur Ekonomi Pada
masa lalu struktur ekonomi yang terkait dengan kebijakan ekonomi dan
pengembangannya dilakukan secara bertahap.Sekarang tidak ada konsep itu lagi.
Dihapus tanpa ada penggantinya,sehingga semuanya tidak karuan, tidak dijamin.
Jadi, kita terlalu memporak-perandakan produk lama yang bagus
Dampak korupsi terhadap sebuah kegiatan bisnis
Dengan adanya praktek korupsi yang sedang marak
terjadi di Indonesia, seperti proses perizinan usaha sebuah perusahaan yang
berbelit-belit dan dengan biaya tinggi yang tidak pada semestinya dikarenakan
ada oknum tertentu dengan sengaja mengambil sebagian biaya tersebut. Dengan
adanya praktek pungutan yang tidak semestinya, maka hal tersebut, tentunya
sangat berdampak pada kegiatan bisnis dalam suatu perusahaan karena dengan
adanya praktek-praktek korupsi oleh pihak-pihak/oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab ini akan membebankan perusahaan seperti adanya High
Cost sehingga hal tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk
barang atau jasa yang dihasilkan. Hal ini terjadi karena buruknya mental dan
minimnya pemahaman serta kesadaran hukum pada para pelaku tindak pidana korupsi
tersebut. Dan adanya persepsi dari para pengusaha terjadinya sejumlah kasus
korupsi termasuk suap, juga dipicu karena rumitnya urusan birokrasi yang tidak
pro bisnis, sehingga mengakibatkan beban biaya ekonomi yang tinggi dan
inefisiensi waktu.
Pihak yang
bertanggung jawab
Memberantas korupsi bukan merupakan kewajiban Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) semata, tapi merupakan tanggung jawab seluruh
elemen bangsa itu sendiri. Peran kita sebagai harapan bangsa selain memberantas
korupsi yang ada dalam diri sendiri juga berkewajiban memberantas korupsi yang
sudah menjadi mata pencaharian para kelompok-kelompok orang tertentu. Membangun
kesadaran mengenai upaya pemberantasan korupsi juga harus dilakukan sejak dini.
Penanaman nilai harus dilakukan kepada generasi muda yang notabene merupakan
calon penerus jalannya republik ditahun-tahun mendatang.
Cara Memberantas Korupsi
1. Menanamkan
Pendidikan Etika dan Moral Anti-korupsi sejak dini
2. Pemahaman dari
aspek rohani dan ajaran agama bahwa korupsi itu merupakan perbuatan yang sangat
tidak bermoral ,merupakan dosa besar dan dibenci oleh Allah SWT.
3. Dengan menjalankan
Prinsip anti korupsi
a. Akuntanbilitas
Akuntabilitas
mengacu pada kesesuaian antara aturan dan pelaksanaan kerja
Semua
lembaga mempertanggung jawabkan kinerjanya sesuai aturan main baik dalam bentuk
konvensi (de facto) maupun konstitusi (de jure), baik pada level
budaya (individu dengan individu) maupun pada level lembaga.
b. Transparansi
· Transparansi : prinsip yang mengharuskan semua proses
kebijakan dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat
diketahui oleh publik.
· Transparansi menjadi pintu masuk sekaligus kontrol
bagi seluruh proses dinamika struktural kelembagaan.
· Dalam bentuk yang paling sederhana, transparansi
mengacu pada keterbukaan dan kejujuran untuk saling menjunjung tinggi
kepercayaan (trust).
Kontrol
masyarakat juga sangat diperlukan.
c. Fairness
untuk
mencegah terjadinya manipulasi (ketidakwajaran) dalam penganggaran, baik dalam
bentuk mark up maupun ketidakwajaran lainnya.
4. Dengan menjalankan
kebijakan anti korupsi
•
Kebijakan anti korupsi mengatur tata interaksi agar
tidak terjadi penyimpangan yang dapat merugikan negara dan masyarakat.
•
Kebijakan anti korupsi tidak selalu identik dengan
undang-undang anti-korupsi, namun bisa berupa undang-undang kebebasan mengakses
informasi, undang-undang desentralisasi, undang-undang anti-monopoli, maupun
lainnya yang dapat memudahkan masyarakat mengetahui sekaligus mengontrol
terhadap kinerja dan penggunaan anggaran negara oleh para pejabat negara.
4 aspek kebijakaan:
1. Isi kebijakan:
Kebijakan anti-korupsi akan efektif
apabila di dalamnya terkandung unsur-unsur yang terkait dengan persoalan
korupsi.
2.
Pembuat kebijakan:
Kualitas isi kebijakan tergantung
pada kualitas dan integritas pembuatnya.
3. Pelaksana
kebijakan:
Kebijakan yang telah dibuat dapat
berfungsi apabila didukung oleh aktor-aktor penegak kebijakan; yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, pengacara, dan lembaga pemasyarakatan.
4. Kultur kebijakan:
Eksistensi sebuah kebijakan terkait
dengan nilai-nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat
terhadap hukum atau undang-undang anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini
akan menentukan tingkat partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Contoh Kasus
DEMOKRASI
yang kita bangga-banggakan selama ini, pada satu sisi tidak membawa dampak
menggembirakan bagi bangsa. Reformasi politik, diakui atau tidak, telah
menciptakan demokrasi secara langsung, kebebasan berpendapat, dan
desentralisasi kekuasaan melalui otonomi daerah. Tetapi siapa nyana ternyata
moral pejabat telah berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Utama (PBNU), KH Said Aqil Siroj di Jakarta, Jumat (11/10)
mengatakan, banyaknya kasus korupsi belakangan ini menunjukkan moralitas
pejabat kita sudah merosot.
“Apa
artinya demokrasi kalau para pejabatnya korup dan rakyat tidak percaya lagi
pada penegak hukum? Untuk membangun kembali kewibawaan hokum, kita perlu
gerakan reformasi total termasuk reformasi moral,” katanya.
Dia
menambahkan, bangsa ini juga memerlukan nilai kejujuran, kebenaran, dan
kesungguhan. Said Aqil Siroj berpendapat, reformasi hukum terutama
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih tersendat. Jika mau
jujur mengatakan demokrasi yang kita bangun pasca-Orde Reformasi malah
melahirkan sejumlah persoalan yang membuat kita prihatin. Salah satu wujud
demokrasi yang sering kita puji adalah desentralisasi kekuasaan melalui otonomi
daerah. Kepala daerah dipilih langsung. Namun, siapa sangka dalam perjalanan
pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung malah melahirkan banyak sengketa.
Akhirnya, bisa ditebak kemudian munculnya sengketa pilkada yang dibawa ke
Mahkamah Konstitusi (MK) memunculkan peluang korupsi. Kasus ditangkapnya Ketua
MK, Akil Mochtar, di rumah dinasnya pada 3 Oktober 2013 karena diduga telah
menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah,
menjadi contoh paling anyar. Namun, lepas dari kasus tersebut, bisa ditarik
kesimpulan bahwa moral pejabat negara telah berada pada titik nadir yang
membahayakan. Kita mencatat sebelum mencuatnya kasus Akil Mochtar juga terdapat
pejabat negara (termasuk tokoh partai politik dan pejabat tinggi di Polri), masuk
dalam deretan pejabat yang bermoral buruk.
Masyarakat
masih ingat pada Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu.
Lalu, ada pula Mantan Menpora Andi Mallarangeng yang Jumat (11/10) gagal
ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua tokoh ini terlibat dalam
kasus proyek Hambalang, Bogor. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi
Hasan Ishaaq, juga menggemparkan para kader partai Islam ini. Betapa tidak
mengejutkan, Luthfi bersama Ahmad Fathanah didakwa menerima hadiah atau janji
berupa uang Rp 1,3 miliar, bagian dari total imbalan Rp 40 miliar yang
dijanjikan Dirut PT Indoguna Utama terkait pengurusan persetujuan penambahan
kuota impor daging sapi. Kasus lainnya terjadi pada Kepala SKK Migas Rudi
Rubiandini dan mantan Kepala Korps Lantas Polri Irjen Djoko Susilo. Irjen Djoko
telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 10 tahun penjara
dan denda Rp 500 juta. Semua hartanya terancam disita Negara. Melihat
serangkaian kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara termasuk tokoh partai
politik dan kalangan akademikus itu, benar adanya moral pejabat di negeri ini
sudah merosot bukan kepalang. Meski mereka sudah menduduki jabatan tinggi dan
bergaji besar, tetapi masih bernapsu memperbanyak harta dengan cara tidak halal.
Kondisi ini menggambarkan krisis moral benar-benar melanda negeri ini. Herannya
lagi, dalam kesehariannya para koruptor tersebut aktif menjalankan ritual
keagamaan, namun hatinya dekat dengan tindakan korupsi. Perbuatan korupsi terus
dilakukan dengan sadar. Tepat seperti yang dikemukakan Ketua PBNU, KH Said Aqil
Siroj, sudah saatnya bangsa ini memerlukan reformasi moral, nilai kejujuran,
kebenaran, dan kesungguhan. Tentunya ini menjadi tugas para pemuka agama untuk
selalu mengingatkan melalui pesan-pesan moral. Langkah itu juga harus dibarengi
dengan penegakan hukuman yang berat bagi para pejabat negara yang terbukti
korupsi. Reformasi hokum, terutama pemberantasan KKN, sudah harus menjadi harga
mati yang tidak bisa ditawar lagi.
Kasus
yang ada di indonesia saat ini adalah :
1.
KPK Beri Isyarat Ratu Atut Terseret Kasus Korupsi.
Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas memberi sinyal
terseretnya Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dalam kasus dugaan korupsi.
Meskipun tak menyebut secara gamblang kasus yang dimaksud, tapi menurut Busyro,
Atut bisa jadi merupakan kepala daerah yang bisa diminta pertanggungjawaban.
“Ya,
benar begitu, seperti Tangerang Selatan,” kata Busyro di gedung kantornya,
Senin, 18 November 2013. Sebelum bicara soal Atut, Busyro terlebih dahulu
bicara soal adik ipar Atut yang juga Wali Kota Tangerang Selatan dalam kasus
dugaan korupsi proyek pengadaan alat kesehatan di Pemerintah Kota Tangsel.
(Baca: Pelapor Dugaan Korupsi Atut Pernah Mau Dibunuh)
Menurut
Busyro, saat ini dalam kasus alkes Tangsel, penyelenggara negara yang
ditetapkan sebagai tersangka baru pada tingkat pejabat pembuat komitmen. “Cara
kerja KPK, semua dimulai dari bawah, minggir-minggir-minggir, langsung nabrak
ke atas,” kata Busyro. Busyro memberi contoh, dalam kasus dugaan korupsi PON
Riau, Gubernur Riau Rusli Zainal bukan orang yang pertama ditetapkan menjadi
tersangka. Dalam kasus travel cheque, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia
Miranda Goeltom kena belakangan. “Itu memang karakter kerja KPK. Tunggu saja,
kami sedang mengumpulkan bukti,” kata dia.
Terhitung
11 November 2013, KPK menetapkan tiga orang dalam kasus alkes Tangsel.
Ketiganya adalah pejabat pembuat komitmen Mamak Jamaksari, petinggi PT Mikkindo
Adiguna Pratama Dadang Prijatna, dan Chaeri Wardana alias Wawan, yang merupakan
suami Airin.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Korupsi merupakan perbuatan yang sangat tidak
bermoral. Mengambil keuntungan untuk diri sendiri ataupun kelompok dengan cara
yang tidak baik, yang dapat merugikan ataupun mengorbankan orang lain bahkan
masyarakat banyak. Penyebab terjadinya korupsi juga dikarenakan moral yang
tidak baik serta hukum yang kurang tegas bagi para koruptor sehingga para
koruptor bias leluasa terus menerus melakukan korupsi. Korupsi juga dapat
memberikan dampak yang tidak baik pada bidang bisnis, karena adanya oknum-oknum
yang meminta uang lebih ataupun pungutan liar, yang tidak bertanggung jawab ini
akan membebankan perusahaan seperti adanya biaya tinggi sehingga hal
tersebut berpengaruh pula pada harga dari sebuah produk barang atau jasa yang
dihasilkan.
Saran
Untuk memberantas korupsi diperlukan
penanaman nilai pada generasi muda sejak dini tentang kejujuran dan moralitas
anti korupsi serta pendidikan rohani yang kuat sehingga sebagai generasi
penerus menjadi pribadi-pribadi yang
jujur, amanah dan mempunyai mental anti korupsi.
Diperluka hukuman dan tindakan tegas
bagi pelaku tindak korupsi agar menimbulakan efek jera bagi koruptor. Serta
kontrol dari masyarakat untuk mengawasi tindakan korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
Albab Ulul. 2009. A
to Z Korupsi: Menumbuhkembangkan Spirit AntiKorupsi. Jakarta: Jaring Pena.
Suyitno. 2006. Korupsi, Hukum dan Moralitas Agama.
Palembang: Gama Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar